top of page
Search

Semangat Bushido : Pemicu Kebangkitan Jepang Pasca Perang Dunia II

  • Writer: Yuli Julianti
    Yuli Julianti
  • Mar 1, 2019
  • 10 min read



Yuli Yulianti (email: ernayuliyulianti@gmail.com)

ABSTRACT

Setiap bangsa di dunia mempunyai kebudayaan dengan corak khas dan identitas bangsa tersebut. Corak khas tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu, geografis, budaya serta unsur-unsur lainnya. Salah satunya bangsa Jepang, Bangsa Jepang adalah salah satu bangsa yang memiliki nilai budaya unik yang menjiwai kehidupan masyarakatnya hingga kini Nilai-nilai budaya Jepang yang mempengaruhi pola pikir masyarakat Jepang hingga mampu menjadi pemicu kebangkitan Jepang pasca Perang Dunia II, bahwa dominasi Barat tidak bisa dikalahkan hanya dengan senjata, tetapi juga oleh semangat bushido. Semangat ini lahir dari kehidupan para samurai yang tenggelam pada periode Kamakura (1192 -1333). Semangat Bushido adalah prinsip dan cara hidup yang membentuk kejujuran, keberanian, kedermawanan, sopan santun, kehormatan, martabat, kesetiaan, tanggung jawab, pengendalian diri, dll. Kesadaran ini mengarah pada peningkatan pendidikan, teknologi dan industri bangsa Jepang. Jepang. Hingga kini menjadi bangsa yang unggul dalam berbagai bidang, bahkan dapat mengungguli bangsa barat.

Kata Kunci: Bushido, Samurai, dan Kebangkitan Jepang.

ABSTRAK

Every nation in the world has a culture with a distinctive style and national identity. This distinctive style is influenced by various factors, namely, geography, culture and other elements. One of them is the Japanese nation, Japan is one nation that has unique cultural values that animates the lives of its people until now Japanese cultural values that influence the mindset of Japanese society to be able to trigger the rise of Japan after World War II, that Western domination cannot be defeated only with weapons, but also by the bushido spirit. This spirit was born from the lives of the samurai who sank in the Kamakura period (1192 -1333). The spirit of Bushido is the principle and way of life that shapes honesty, courage, generosity, courtesy, honor, dignity, loyalty, responsibility, self-control, etc. This awareness leads to the improvement of Japanese education, technology and industry. Japan. Until now it has become a nation that excels in various fields, it can even outperform western nations.

Kata-Kata Kunci: Bushido, Samurai, Japan’s Rise


PENDAHULUAN

Bangsa Jepang merupakan salahsatu Jepang terletak di timur Benua Asia, berada di utara timur laut China dan Taiwan, sebelah timur Korea dan sebelah selatan Rusia. Bangsa Jepang mempinyai nilai- nilai budaya khas, yang hingga zaman modern pun tetap dijalankan oleh masyarakatnya. Nilai-nilai budaya yang sudah berakar kuat, kemudian berpengaruh terhadap pola pikir dan menjadi pemicu serta pedoman hidup masyarakat Jepang dalam perjuangan hidupnya dari jaman dulu sampai kini.

Pandangan hidup bangsa Jepang inilah yang kemudian membuka kesadaran masyarakat Jepang tepatnya ketika kejatuhan Jepang setelah Perang Dunia II, bahwa dominasi bangsa barat tidak dapat dikalahkan hanya dengan kekuatan senjata saja tetapi harus dengan menguasai kepandaian dan keahlian mereka di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. (Suliyati: 2013, hlm. 1) Kelumpuhan kondisi Jepang pasca Perang Dunia II memicu Jepang dengan senmangat bushido untuk dapat kembali membuat Jepang bangkit. Usaha untuk mengungguli bangsa barat harus dengan kesungguhan menggali berbagai kemampuan bangsa barat disertai dengan semangat juang yang tinggi yang dikenal dengan “bushido”. Kesadaran inilah yang kemudian dapat memicu bangsa Jepang, hingga kini menjadi bangsa yang unggul dalam berbagai bidang, salah satunya yaitu teknologi dan industri, sehingga dapat bersaing dan menyamakan posisi dengan bangsa bangsa barat.


PEMBAHASAN

1. SEJARAH LAHIRNYA BUSHIDO DAN KOKUTAI

Bushido berasal dari kata “bu” yang atinya beladiri, “shi” artinya Samurai (orang) dan “do” artinya jalan. Secara sederhana bushido berarti jalan terhormat yang harus ditempuh seorang Samurai dalam pengabdiannya (Benedict,1982 :335). Dapat diartikan bahwa bushido adalah sebuah semangat mengabdi dan menunjukan sebuah prestise. Konsep ini kemudian diperluas dan diformalkan sebagai kode awal samurai dan menekankan pada penghematan, kesetiaan, penguasaan bela diri, dan kehormatan sampai mati. Bushido juga mencakup belas kasih bagi mereka dari status yang lebih rendah untuk pelestarian nama. Aspek spiritual sangat dominan dalam falsafah bushido, seorang samurai memang menekankan kemenangan terhadap pihak lawan, tetapi tidak berarti dengan kekuatan fisik. Dalam semangat bushido, seorang samurai diharapkan mampu menjalani pelatihan spiritual guna menaklukan dirinya sendiri, karena dengan menaklukan dirinya sendirilah samurai dapat mengalahkan orang lain

Semangat bushido tidak dapat dilepaskan dari kelompok Samurai yang muncul pada periode Kamakura (sekitar tahun 1192 sampai dengan tahun 1333). Sebelum jaman Kamakura peran kaisar Jepang dalam pemerintahan sangat besar. Perubahan ini menyebabkan turunnya peran dan kekuasaan kaisar dalam tata pemerintahan. Periode ini dimulai pada maza Heian yaitu ketika muncul kelompok-kelompok bangsawan dari keluarga Fujiwara dan Taira yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dan legitimasi dari kaisar. Kaisar memberikan kewenangan pemerintahan kepada dua keluarga ini berganti-ganti.

Dalam upaya meraih kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, kelompok-kelompok keluarga yang saling bersaing ini mempunyai prajurit yang handal dan terlatih yang dikenal sebagai Samurai. Pengaruh kaum Samurai yang sangat besar dan kuat pada masyarakat telah memunculkan simbol-simbol tentang kekuatan yang kemudian menjadi lambang perilaku masyarakat saat itu. Sebagai golongan kelas atas, di atas golongan petani dan pedagang, samurai mempunyai etik dan falsafah hidup yang disebut dengan bushido. Karena keberadaan kelompok Samurai ini demikian lama, yaitu sekitar 650 tahun dari periode Kamakura sampai periode Meiji (1867-1912), maka semangat bushido telah mendarah daging dalam kepribadian dan karakter bangsa Jepang.

Selain itu, nilai bushido berasal dari ajaran budhisme dan shintoisme. Dimana terdapat perasaan percaya, tenang terhadap nasib, pasrah terhadap hal-hal yang tak terelakan serta kesetiaan terhadap kaisar. Juga tidak ada konsep Sang Pencipta dan konsep dosa sehingga mati bunuh diri tidak ada sangkut pautnya dengan nilai norma doktrinat agama, yang ada hanya konsep karma dimana “perbuatan yang baik akan berakibat baik pula (http://goosejarah.blogspot.co.id/2012/10/fil safat-bushido.html: diunduh tgl 7 Desember 2017, jam 9 ).

Kemudian, penanaman etika bushido semakin mendalam ketika pada periode Edo diberlakukan politik isolasi yang membatasi hubungan sebagian besar masyarakat Jepang dengan bangsa asing. Etika bushido pada masa Tokugawa semakin mantap diterapkan oleh Samurai yang kemudian menjadi etika dasar kemasyarakat. Etika bushido yang semakin kuat ini berkembang dan meluas menjadi etika dasar bangsa Jepang sampai ke masa modern (Bellah, 1985 : 90). Demikian, Semangat bushido sampai saat ini masih tampak dalam keseharian masyarakat Jepang walaupun masyarakat Jepang telah tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat modern.


2. BUSHIDO SEBAGAI PEMICU BANGKITNYA BANGSA JEPANG

Pasca revolusi Meiji, semangat bushido yang masih diterapkan secara mendalam, karena para Samurai juga banyak yang berganti profesi sebagai industrialis. Beberapa perusahaan besar bahkan dipimpin oleh keturunan para Samurai sehingga etika bushido juga tertanam kuat. Beberapa contoh yaitu para industrialis menerapkan system manajemen dengan landasan etika bushido. Para industrialis wajib memfokuskan perhatian pada usaha yang luas untuk kemajuan industrinya dan harus memiliki keyakinan untuk keberhasilan usahanya. Usaha yang bersifat spekulatif harus dihindari. Usaha yang dilakukan harus bertujuan untuk kepentingan nasional dan untuk pelayanan umum. Kerja keras yang tujuannya untuk mensejahterakan orang lain menjadi kewajiban pengusaha sejati. Pemilihan pegawai yang baik dan tepat dan cara memperlakukan pegawai dengan baik. Satu hal yang menjadi dasar dari pelaksanaan etika bushido adalah keteladanan dari para pemimpin bangsa Jepang. (Sakamoto, 1982: 78).

Etos kerja Bushido terdiri dari tujuh prinsip yang terdiri dari: (1) Gi - keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran; jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian yang demikian adalah kematian yang terhormat; (2) Yu - berani dan bersikap kesatria; (3) Jin - murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama; (4) Re - bersikap santun, bertindak benar; (5) Makoto - bersikap tulus yang setulus-tulusnya, bersikap sungguh dengan sesungguhsungguhnya dan tanpa pamrih; (6) Melyo - menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan; dan (7) Chugo - mengabdi dan loyal.

Pasca pengeboman di dua kota penting yaitu Hiroshima dan Nagasaki dan setelah Perang Dunia II usai, merupakan masa yang berat bagi bangsa Jepang. Selama beberapa tahun setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, ekonomi jepang hampir seluruhnya lumpuh akibat kerusakan perang. Kekurangan pangan yang parah, inflasi yang tak terbendung, dan pasar gelap dimana-mana. Kemudian rakyat jepang mulai membangun kembali ekonominya yang dihancurkan oleh perang, karena mereka harus tunduk pada bangsa asing (Amerika) yang menguasai Jepang serta krisis ekonomi yang melanda dunia berdampak mendalam kehidupan sosial bangsa. Namun terdapat semangatat yang membakar bangsa Jepang untuk bangkit dan mengembalikan kejayaan bangsa Jepang, yaitu semangat bushido. Sebagaimana menurut Frank Navies dalam “The Modern Samurai Martial Studies & the Modernization of the Japanese School System”, “In 1945 Japan was defeated and postwar bushido suffered a tremendous blow. American forces occupied Japan for seven years and banned all martial arts and teachings having to do with bushido. However, in May of 1950, budo experts collaborated and made a formal petition to the occupying forces. Judo was the first to be reinstated into the Japanese school system”. Dalam proses pemulihan negara dan bangsa pasca kekalahannya dalam Perang Dunia II, bangsa Jepang tetap teguh dan disiplin dalam mengejar ilmu pengetahuan dan alih teknologi dari negara-negara Barat. Walaupun Jepang mengalami kehancuran fisik yang parah setelah Perang Dunia II, bangsa Jepang tidak mengalami kehancuran mental dan spiritualnya. Bangsa Jepang memiliki keistimewaan yaitu kecepatan menyadari kondisi/situasi yang dihadapi dan kecepatan menyesuaian diri pada kondisi tersebut (Mattulada,1979 : 228). Dalam waktu yang tidak terlalu lama bangsa Jepang kembali bangkit untuk menata kehidupan sosial, ekonomi serta industrinya yang maju pesat menyaingi industri negara-negara Barat. Berkat kedisiplinan, kerja keras, dedikasi yang tinggi dan dengan tujuan untuk menegakkan harga diri di mata dunia. Nilai- nilai diatas kemudian menjiwai masyarakat Jepang kini. Tidak mengherankan, keberhasilan industri Jepang kini berakar pada semnagat bushido yang diterapkan secara mendalam, dan keteladanan para pemimpinnya yang menginspirasi banyak pegaiwainya. Terbukti pada tahun 1970-an Jepang sudah dapat dikategorikan sebagai salah satu negara maju dan modern di dunia

Namun, dalam implementasinya, semangat bushido ditampilkan tidak dalam bentuk perang atau pertempuran fisik, melainkan dalam bentuk kerja keras dan disiplin yang tinggi menjalankan aturan aturan yang ditetapkan oleh Tenno. (Rosidi, 1981 : 67). Hal ini sejalan dengan pendapat Frank Nieves dalam “The Modern Samurai Martial Studies & the Modernization of the Japanese School System”, “This philosophy fell under the concept that “being truly strong was not just a matter of physical strength, but also mental strength.”. Demikian, secara keseluruhan, perubahan filosofi ini memberikan kelas samurai dengan fokus yang lebih pada etika dan perdamaian daripada pada perang dan penghancuran.

Pembatasan-pembatasan yang dilakukan pemerintah Amerika di Jepang tidak menyurutkan tekad bangsa Jepang untuk maju. Bahkan mereka dapat memanfaatkan dan mengambil sisi positif dari pembatasan-pembatasan tersebut. Kepatuhan dan ketaatan bangsa Jepang pada pemerintah pendudukan Amerika Serikat sangat dihargai dan sebagai imbalannya pemerintah Amerika Serikat tetap mengakui eksistensi lembaga kekaisaran Jepang. Bagaimanapun masyarakat Jepang memiliki ikatan yang kuat dengan kaisarnya. Kaisar adalah lambang pemersatu bangsa Jepang yang keberadaannya sudah mengakar sangat kuat dalam tradisi dan budaya Jepang. Seandainya lembaga kekaisaran ini ditiadakan dan diganti dengan pemerintahan republik, maka pemerintah pendudukan Amerika Serikat di Jepang akan menanggung resiko yang besar, yaitu akan timbul gejolak sosial yang tak terbendung dan sulit dikendalikan (Nurhayati, 1987: 44)

Sejalan dengan perkembangan sosial politik negara-negara di wilayah Asia Timur, Amerika Serikat sangat berkepentingan untuk meningkatkan dan memajukan masyarakat Jepang di semua bidang, karena Amerika Serikat khawatir perkembangan komunisme di Uni Sovyet dan Cina dapat mengancam Jepang. Bila kondisi bangsa Jepang dibiarkan tetap terpuruk, dikhawatirkan akan menjadi sasaran komunisme. Kemajuan Jepang sangat menguntungkan Amerika Serikat karena Jepang dapat diharapkan menjadi sekutu Amerika dalam melawan komunisme di wilayah Asia Timur (Nakane, 1981 : 96).

Kemajuan yang dicapai Jepang dengan etos kerja Bushido merupakan bukti bahwa pembangunan suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari penanaman nilai-nilai khas/karakter bangsa tersebut. Jepang menjadikan karakter bangsa yang bersumber dari tradisi sebagai modal untuk memasuki persaingan di era global. Masyarakat Jepang membuktikan, tradisi justru bisa dijadikan landasan kokoh bagi pengembangan modernisasi. Nilai-nilai kearifan lokal tidak terkalahkan oleh penetrasi nilai-nilai budaya asing tetapi sebaliknya menjadi kekuatan transformatif yang dahsyat untuk mencapai kemajuan. Tradisi justru menjadi fasilitator kemajuan. Dengan tradisi, mereka mencapai Jepang yang modern seperti dicitacitakan oleh para samurai. Semangat bushido, meskipun pada awalnya diterapkan oleh para samurai, diadopsi oleh Jepang modern dan diterapkan pada berbagai aspek kehidupan dan masih tersisa hingga saat ini. Sikap berani, termasuk berani berkorban dan yang ditambah loyalitas, menjadikan Jepang mampu mengatasi ketertinggalannya dari Barat. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa para pekerja Jepang mengorbankan segalanya, termasuk keluarganya, demi perusahaan. Sebagai dampaknya peranan ayah sebagai pemimpin keluarga menjadi berkurang, dan pendidikan anak dilakukan oleh ibu (kyoiku mama) sehingga terkadang ayah menjadi kurang dihargai akibat jarang di rumah dan kurang berkomunikasi dengan anaknya. menggeser visi mereka ke dunia usaha. Landasan berpikir orang Jepang sebagaimana bara samurai masih ada yang dapat dilihat di perusahaan, yakni dengan pembentukan perusahaan besar yang disebut zaibatsu, yang mempekerjakan para pekerja seumur hidup. Karena itu, para pekerja ini dituntut loyal pada tempatnya bekerja karena tidak mudah untuk alih pekerjaan. Meskipun demikian, akhir-akhir ini kecenderungan ini mulai berubah, seiring dengan semakin meningkatnya jumlah orang, khusunya kaum muda yang memilih bekerja paruh waktu. Hubungan perusahaan dan para pekerja lebih seperti hubungan keluarga daripada seperti hubungan budak dan majikan. Perusahaan ini menuntut kesetiaan yang serupa dengan para samurai di masa lampau. Nilai-nilai zen dari samurai dikenal baik oleh para pekerja ini, mereka loyal dan dituntut untuk mau berkorban untuk perusahaan mereka

Dewasa ini, ketika tidak ada kelas samurai, bushido tidak lagi mempunyai kekuatan militer. Namun, bagaimanapun, dasar etika bushido masih memainkan peranan dalam kebudayaan dan masyarakat Jepang. Penekanan Bushido pada loyalitas pada atasan sebuah kelompok masih jelas terlihat pada loyalitas para pekerja pada pekerjaan mereka, para siswa kepada guru, atau individu yang bekerja atau bertindak dengan bermuara bagi kepentingan negara. Semangat atau etika bushido yang tersisa pada masa kini tentu saja berbeda dengan para samurai yang memilih mati dengan cara terhormat demi membela tuannya atau demi kehormatan. Perwujudan lebih pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti bekerja keras, menghormati atasan atau yang lebih senior, loyalitas, dan sebagainya. Sistem nenkojoretsu (senioritas) yang ada dalam perusaahan Jepang juga merupakan salah satu bentuk dari etika tersebut. Etika, semangat, ataupun ajaran moral diajarkan kepada murid-murid sekolah di Jepang melalui pelajaran moral (doutoku), termasuk di dalamnya adalah unsur kesetiaan. Hal ini dilakukan untuk memupuk moral sejak dini. Namun, etika moral tradisional yang selama ini dianggap melekat dalam diri bangsa Jepang tampak semakin memudar. Hal ini dapat dilihat pada gaya hidup dan perilaku kaum muda Jepang dewasa ini yang menimbulkan kekhawatiran generasi sebelumnya, khusunya yang mengalami masa-masa sulit, seperti Perang Dunia Ke-2 (Wibawarta, 2006, hlm.4)


Kesimpulan

Semangat bushido tidak dapat dilepaskan dari kelompok Samurai. Semangat ini lalu bertransformasi menjadi falsafah dan budaya masyarakat Jepang yang sampai kini masih dianut.

Dalam era industri di Jepang dewasa ini etika bushido juga masih diterapkan , karena pada era setelah restorasi Meiji, para Samurai juga banyak yang berganti profesi sebagai industrialis. Beberapa perusahaan menerapkan system manajemen dengan landasan etika bushido. Para industrialis wajib memfokuskan perhatian pada usaha untuk kemajuan industrinya dan harus memiliki keyakinan untuk keberhasilan usaha. Kekalahan Jepang pasca Perang Dunia dan lumpuhnya ekonomi Jepang tidak membuat bangsa Jepang lantas berserah diri. Dijiwai semangat bushido yang telah tertanam, Jepang pada akhirnya dapat bangkit dan kini menjadi salah satu negara maju yang bahkan dapat menyaingi bagsa barat.

DAFTAR PUSTAKA

Bellah, Robert N.(1985). Tokugawa Relegion : The Values of Per-Industrial Japan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni : Pola-pola Kebudayaan Jepang. Jakarta : Sinar Harapan.

Mattulada, 1979. Pedang dan Sempoa. Jakarta: Depdikbud

Nakane, Chie. (1981). Masyarakat Jepang. Jakarta : Sinar Harapan

Nurhayati, Yeti. (1987. Langkah-langkah Awal Modernisasi Jepang. Jakarta : Dian Rakyat

Priambodo, Damar. (2012). Filsafat Bushido. [Online]. Diakses di http://goosejarah.blogspot.com/20 12/ 10/filsafat-bushido.html. Diakses 01 Januari 2019

Rosidi, Ajip. (1981). Mengenal Jepang. Jakarta : The Japan Foundation.

Sakamoto, Taro. (1971). Jepang: Dulu dan Sekarang. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta

Suliyati, Titiek. (2013). Bushido Pada Masyarakat Jepang : Masa Lalu dan Masa Kini. Izumi; Vol 1, No 1: Juni 2013

 
 
 

Comentarios


Post: Blog2_Post

+6281546771412

  • Facebook
  • Twitter
  • LinkedIn
  • Instagram

©2019 by My Site. Proudly created with Wix.com

bottom of page