Kebangkitan Perekonomian Jepang Pasca Perang Dunia II
- Yuli Julianti
- Mar 1, 2019
- 9 min read

2.1. Kondisi Perekonomian Jepang Pasca Perang Dunia II
Keikutsertaan Jepang pada Perang Dunia II membawa Jepang pada kehancurannya sendiri. Jepang memasukkan dirinya ke Poros Fasisme yaitu Jepang dan Italia. Setelah menandatangani pakta militer dengan Jerman dan Italia, Jepang menempatkan dirinya dalam pertentangan dengan Inggris dan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II. Lebih dari itu, untuk memotong jalan perlengkapan dan persediaan Pemerintah Chunking, Jepang mengadakan pakta dengan Indocina Prancis dengan menempatkan pasukannya disana. Sehingga, Amerika membalas langkah ini dengan membekukan modal Jepang di Amerika Serikat dan memberlakukan embargo. Selain itu, Inggris pun mencabut perjanjian dagang dan navigasinya dengan Jepang. Hingga akhirnya pertentanagan tersebut berbuah peperangan yang sangat mengerikan, karena menyebabkan jutaan orang meninggal dan keruskan dalam berbagai sektor, tidak terkecuali sistem perekonomian dimana perekonomian seketika ke ssektor ekonomi perang.
Seperti ysng dikemuksksn oleh Sakamto, bahwa blokade ekonomi terhadap Jepang dilakukan oleh “Garis ABCD” Jepang mengadakan negosiasi dengan Amerika untuk mencari persesuian paham secara baik- baik tetapi Amerika akhirnya memberi kepastian yaitu dengan mengultimatum, sehingga akhirnya Jepang memtuskan untuk terjun dalam perang sampai akhirnya pada 1 Desember 1941 Jepang menyatakan perang melawan Amerika dan Inggris. (Sakamoto, 1971:56).
Kondisi perang dan banyaknya kekalahan yang dialami Jepang, menjadikan perekonomian Jepang hampir lumpuh, karena rakyat Jepang memusatkan seluruh kegiatan pada untuk kepentingan perang. Sampai pada puncaknya pada tanggal 6 Agustus 1945 di Kota Hiroshima dan 9 Agustus 1945 di Kota Nagasaki, Jepang dijatuhi bom atom oleh Sekutu. Menurut Sakamoto, ekonomi Jepang seketika hancur sama sekali pemboman sekutu telah menghancurkan sekitar 25% kekayaan nasional Jepang. Pemboman tersebut antara lain menyebabkan terjadinya kekurangan perumahan yang sangat luas di kota-kota besar Jepang dan Jepang kehilangan 44% dari wilayahnya dan dengan demikian Jepang mengalami kerugian karena 36% dari sumber pendapatan nasional hilang. Kekurangan bahan pangan menjadi genting, dan pemulihan setelah perang mengalami kesulitan- kesulitan yang luar biasa. . Sementara, setelah peristiwa tersebut Uni Soviet pun menyatakan perang pada Jepang dan pasukan Rusia menduduki daerah Manchukuo dan Korea. Sampai akhirnya, pada tanggal 14 Agustus 1945, dan Jepang memutuskan untuk menerima Deklarasi Postdam dan menyatakan kekalahannya.
Dalam keadaan ekonomi sudah sangat terpuruk, terlihat dari produksi industri merosot sangat tajam, jumlahnya hanya merupakan persentase yang kecil jika dibandingkan dengan tingkat produksi di tahun sebelumnya. Produksi pangan yang sebelumnya dapat dipertahankan pada tingkat yang relatif tinggi, tetapi pada tahun 1945 turun sekitar 30%. Akibatnya pada akhir tahun 1945 terjadi krisis pangan yang berlangsung sampai awal tahun 1946. Kondisi tersebut diperparah dengan lumpuhnya aparat pemerintah dalam mengumpulkandan mendistribusikan barang berdasarkan harga yang telah ditentukan.(Sakamoto, 1971:40). Kondisi tersebut tentu menimbulkan meningkatnya rasa kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, yang hampir saja menimbulkan berbagai macam pemberontakan.
Keadaan tersebut diperparah dengan lepasnya daerah-daerah jajahan menyebabkan hilangnya sumber-sumber alam yang sebelumnya dapat diperoleh Jepang untuk kepentingan dalam negerinya. Kondisi awal pasca PD II yang dialami Jepang dipersulit dengan pendudukan yang dilakukan pihak sekutu di negeri tersebut. Pihak sekutu menerapkan kebijakan non responsibility terhadap keadaan yang dialami Jepang pada awal pasca PD II (Sakamoto, 1971:41). Jepang sebagai negara yang perekonomiannya hancur dikarenakan kekalahan perang dan menyerah kepada pihak sekutu, mau tidak mau harus mengikuti setiap kebijakan sekutu. Keaadan tersebut nampaknya bukan menjadi hambatan bagi Jepang, namun menjadi batu loncatan untuk dapat bangkit dan maju.
Pendudukan Amerika Serikat di Jepang terjadi pada tahun 1945-1952. Kebijakan Amerika Serikat di Jepang selama masa pendudukan antara lain;
(1) Menghancurkan militer yang menjadi penyebab perang,
(2) Mengadili penjahat-penjahat perang,
(3) Membersihkan para pemimpin yang terbukti bertanggung jawab atas politik agresi,
(4) Pembayaran ganti rugi perang,
(5) Penghancuran industri perang dan perampasan alat-alat perang,
(6) Pendemokrasian politik, ekonomi, dan pendidikan. Garis besar tugas pemerintah pendudukan tersebut menambah kesengsaraan Jepang, akibatnya muncul permasalahan-permasalahan dan kekacauan dalam berbagai bidang (Dasuki, 1963: 63).
Sekutu memberlakukan pelucutan senjata, liberalisasi, unifikasi wilayah dan desentralisasi ekonomi di Jepang. Sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat, menginginkan kemakmuran dan kekuatan ekonomi di Jepang saat itu tidak terkonsentrasi, tetapi harus lebih disebarluaskan (desentralisasi) dan dijadikan perusahaan publik dalam kerangka demokrasi. Atas rekomendasi Markas Besar Umum,Undang- Undang Dasar baru ditetapkan pada tahun 1946. Undang- Undang Dasar tersebut antara lain mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan Diet merupakan kekusaan tertinggi serta kaisar Jepang hanya sebagai simbol rakyat Jepang. Hak- hak azasi rakyat dijamin dan Jepang untuk selamanya menolak perang sebagai cara untuk menyelesaikan pertikaian nasional. (Sakamoto, 1971:45).
Demokratisasi pula dilakukan dalam hal ekonomi dan berbagai pembaharuan dilaksanakan untuk mencegah kembali militerisme. Salah satu pembaharuan ini berupa perubahan dalam hal tanah pertanian, yaitu penghapusan sistem tuan tanah yang tidak mendiami tanahnyaSaat itu di Jepang ada 4 konglomerat-keluarga (zaibatsu) yang dikenal dengan “the big four”, dan 14 yang lebih kecil. Mitsubishi yang merupakan “the big four” pada saat itu harus tunduk pula pada aturan sekutu. Kemudian aset Mitsubishi dibagikan ke seluruh pekerja dan penduduk lokal dalam bentuk saham, sehingga pada tahun 1946 Mitsubishi berubah menjadi perusahaan independent. Pada kenyataannya perusahaan yang terdesentralisasi mengalami banyak kesulitan dalam permodalan, produksi, dan pendistribusian hasil produksinya, sehingga akhirnya mereka saling menggabungkan saham mereka dan membentuk group (keiretsu), menjadi Mitsubishi keiretsu atau Mitsubishi group.
2.2 Faktor- faktor Pendorong Kebangkitan Ekonomi Jepang
2.2.1 Faktor Intern
a. Karakteristik Sosial Budaya Bangsa Jepang
Bangsa Jepang memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Karakter bangsa Jepang mulai tertanam sejak pelaksanaan program isolasi yang dilakukan oleh Keshogunan Tokugawa. Selama kurang lebih 250 tahun masa isolasi, masyarakat Jepang mulai membentuk karakter untuk pantang menyerah dalam menghadapi persoalan dan tetap memegang nilai- nilai kekeluargaan dalam kehidupan sehari-hari (Suryohadiprojo, 1987: 41). Karakter tersebut mendarah daging terbukti setelah kehancuran Jepang pasca Perang Dunia II, rakyat Jepang tidak lantas, menyerah dan berputus asa, namun dengan sigap bangkit dari keterpurukan. Mereka berusaha menyuarakan rasa kecewa mereka, namun sikap protes mereka tidak frontal (tidak menggunakan kekerasan) dikarenakan ikatan tradisi yang begitu kuat dalam diri mereka. Sikap protes masyarakat Jepang turut dipicu oleh perkembangan nilai-nilai universal yang masuk bersamaan dengan pendudukan Amerika Serikat.
Selain nilai- nilai kepribadian diatas, dua nilai budaya Jepang lain yang membuat agresif adalah “kokutai” dan “bushido”. Kokutai mencakup pengertian “Struktur Nasional” terutama pada sistem kekaisaran; dasar nasional dan dongeng asal usul Jepang dan dinasti kaisar Jepang dari Dewata, serta mencakup pula “Watak Nasional”yang mengandung pengertian sifat- sifat moral Jepang dan pengaruh Ajaran Kong Hu Cu yang dianggap mutlak untuk tingkah laku pribadi. Sementara, Bushido adalah kesediaan memberikan nyawa untuk pemimpin. Kesetiaan tidak memperhitungkan maut, karena sejak semula kesediaan untuk mati telah ditekadkan untuk melakukan suatu perjuangan. Orang Jepang juga bersifat rasialis, dimana tercermin dalam sikap memandang rendah pada semua orang asing yang berada di tengah masyarakat Jepang, seperti orang Korea dan China, dan sikap Jepang yang menolak masuknya tenaga- tenaga buruh bangsa lainke Jepang.
Nilai- nilai kepribadian lain yang dimiliki masyarakat Jepang yang mendorong kebangkitan perekonomian Jepang pasca Perang Dunia II, antara lain:
1) Kesetiaan pada kelompok
2) Kepatuhan yang kuat pada jabatan, kedudukan, dan hierarki
3) Kesediaan bekerja keras
4) Keuletan menyimpan
5) Ketrampilan bekerja dan belajar (Sakamoto
Selain faktor diatas pula Sakamoto mengemukakan bahwa manusia Jepang adalah manusis yang mempunyai jiwa “Mentalitas Lapar”. Dimana orang Jepang tidak akan pernah puas akan hasil kerja atau pencapaian yang diraihnya, serta selalu berusaha lebih keras untuk dapat mencapai kesusksesannya. Tidak mengherankan bahwa memang perekonomian Jepang yang maju sekarang karena ditunjang pula dengan karakteristik masyarakatnya yang mempunyai etos kerja yang tinggi.
2.2.2. Faktor Ekstern
2.2.2.1. Pendudukan Amerika Serikat
Pendudukan Amerika Serikat selama di Jepang melaksanakan kebijakan Demiliterisasi, Demokratisasi, dan Pembaharuan Ekonomi (Hayes, 1994: 39-42).
a. Kebijakan Demiliterisasi (Penghancuran Militer)
Demiliterisasi merupakan kebijakan untuk mengurangi jumlah kekuatan militer dalam suatu negara. Alasan SCAP menerapkan program pernah mengancam keamanan dan perdamaian dunia (Reischauer, & Craig, 1990: 280).
b. Demokratisasi
Kebijakan demokratisasi merupakan tindaklanjut dari pelaksanaan program demiliterisasi. Program demokratisasi bertujuan untuk mengarahkan Jepang menjadi negara yang demokratis. Program demokratisasi Jepang didasari oleh Konstitusi Showa yang dibuat pada 15 Desember 1945. Konstitusi baru ini memiliki 3 prinsip dasar yaitu penghormatan terhadap hak asasi warga negara, persamaan hak bagi wanita, dan penghapusan sistem pemerintahan yang otoriter (Hane, & Perez. 2008: 371).
c. Pembaharuan Ekonomi
Program pembaharuan ekonomi Jepang, mencakup tiga aspek utama yaitu pembubaran zaibatsu, reformasi pertanian, dan reformasi tenaga kerja (Hayes, 1994: 38-94).
Karena itu, Huntington (1976) menganggap bahwa antara nilai-nilai tradisional dan modern adalah hal yang saling bertentangan. Dalam arti, jika modernisasi ingin dicapai, maka nilai-nilai tradsional harus dirombak total alias dilenyapkan. Modernisasi melibatkan perubahan pada hampir seluruh aspek perilaku sosial, termasuk industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi, sekularisasi dan sentralisasi pada satu tempat yang mengakibatkan terjadinya pengelompokan, sehingga modernisasi bercirikan keteraturan dan tidak dalam kondisi yang terpisah-pisah.
Pemaharuan ekonomi yang pertama dilakukan adalah pembubaran zaibatsu. Zaibatsu merupakan kelompok perusahaan yang dijalankan oleh keluarga-keluarga kaya atau holding company. Anggota zaibatsu saling bekerjasama untuk memegang, menguasai, dan menentukan kepemimpinan perusahaan-perusahaan di Jepang. Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam zaibatsu antara lain; Mitsui, Mitsubishi, Sumitomo, dan Yasuda (Mattulada, 1979:155). Zaibatsu memberikan bantuan keuangan sebesar 5,75 milyar Yen kepada pemerintah Jepang untuk mempertahankan militernya di daerah jajahan. Atas dasar bukti pemberian dukungan kepada pihak militer tersebut, Amerika Serikat dan sekutunya menginginkan adanya pembubaran zaibatsu di Jepang.
Pembaharuan perekonomina kedua yang dilakukan adalah reformasi pertanian Amerika Serikat berpendapat Land Reform sangat diperlukan setelah melihat adanya praktik foedalisme dan munculnya komunisme dari kelas pekerja dan petani miskin. Tujuan pelaksanaa kebijakan Land Reform yaitu untuk pemindahan kepemilikan tanah dari golongan bangsawan yang feodal kepada petani. Pemakaian lahan untuk keperluan di luar industri pertanian dibatasi 1 cho. Tuan tanah di daerah setempat hanya boleh memiliki lahan seluas 1 cho, sedangkan tuan tanah dari luar daerah tidak diperbolehkan memiliki tanah. Lahan yang dapat disewakan dibatasi 3 cho. Serta terakhir pembaharuan ekonomi yang dilakuka adalah reformasi tenaga kerja Undang-Undang Serikat Pekerja (Rodo Kuimiaiho/Trade Union Law) sebagai landasan utama untuk mengatasi permasalahan terkait ketenagakerjaan di Jepang. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, ditentukan pembatasan jam kerja menjadi 8 jam dalam satu hari dan 48 jam dalam satu minggu. Pada tahun 1950 jumlah jam kerja buruh mencapai rata-rata 3000 jam pertahun, sedangkan di negara-negara Barat hanya 1900-2100 jam kerja pertahun. Pada tahun 1952 pemerintah menurunkan jam kerja menjadi 2146 pertahun (Suryohadiprojo, 1987:89).
2.2.2.2. Pecahnya Perang Korea
Perang Korea dimulai dengan penyerangan Korea Utara atas Korea Selatan di Kota Incheon. Amerika Serikat yang terlibat langsung dalam Perang Korea, memanfaatkan Jepang sebagai pangkalan logistik pasukan militernya di kawasan Pasifik. Perusahaan-perusahaan yang membangun industri tertentu untuk kepentingan tertentu disebut zaikai. Terjadinya Perang Korea menyebabkan zaikai mendapat program permintaan khusus (tokuju) dari Amerika Serikat (Andressen, 2002: 125). Perkembangan produksi zaikai dapat dilihat dari kenaikan jumlah tokuju yang mampu dipenuhi oleh Jepang dari tahun 1950 (63 juta $ AS), 1951 (624 juta $ AS), dan 1952 (788 juta $ AS). Meskipun terbebani oleh besarnya jumlah tokuju, zaikai Jepang memperoleh kenaikan pertumbuhan produksi industri dari tahun 1950 (73,6 juta $ AS), tahun 1951 (101,7 juta $ AS), dan 1952 (108,9 juta $ AS) (Dorn-Busch, dalam Topan, 2013: 5758). Konflik yang terjadi di Korea berdampak pada perubahan kebijakan ekonomi di Jepang. Perang Korea yang terjadi pada 25 Juni 1950, menyebabkan munculnya keiretsu di Jepang. Keiretsu sebagai wajah baru dari zaibatsu tetap mempertahankan pola kekeluargaan dalam struktur kekuasaan, hanya saja sistemnya lebih longgar. Perubahan kebijakan tersebut menyebabkan munculnya industri-industri yang mendukung kebangkitan ekonomi Jepang (Soepriyatno, 2008: 40).
Ketika pada tahun 1950 Perang Korea meletus antara Republik Korea (Korea Selatan) dan Republik Rakyat Demokrasi Korea (Korea Utara) meletus, Jepang mendapat pengaruh baik akibat perang tersebut. Disinilah Amerika berusaha keras untuk mendorong pembangunan Jepang. Amerika membentuk angkatan polisi cadangan yang berjumlah 75.000 orang, dan meletakkan batu pertama bagi usaha mempersenjatai Jepang kembali. Penegakan Jepang pada bidang ekonomi pun berlangsung cepat. Terlihat pada tahun 1951 produksi dalam industri besi dan baja telah melampau tingkat sebelum perang dan ekonomi menunjukan pertumbuhan angka yang signifikan. (Sakamoto)
Nasib baik, dimana setelah Perang Dunia II terjadi sera Perang Korea pecah, dan Jepang oleh Amerika dijadikan bengkel untuk melayani peperangan di Korea. Didukung pula setelah Perang Dingin, yaitu persaingan sengit antara Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok Timur (Uni Soviet dan China). Amerika Serikat membutuhkan Jepang yang kuat dan anti- komunis, serta Jepang bernasib baik pula ketika Perang Vietnam meluas dan Jepang kembali dipergunakan bengkel oleh Amerika. Semua telah amat sangat mendorong rehabilitasi dan perkembangan ekonomi Jepang.
Akan tetapi, seberapapun kuatnya ekonomi Jepang kini, pada hakikatnya Jepang diibaratkan merupakan sebuah bunga yang rapuh, seperti dikatakan oleh Zbigniew Brzezinski dalam bukunya “The Fragile Blossom, Crisis, and Change in Japan”. Brzezinsk merujuk pada kemungkinan Jepang akan mengalami kesulitan utuk mendapat bahan- bahan mentah. Sumber daya alam Jepang sendiri. Setelah mendekati kekeringannya, dan Jepang semakin bergantung pada sumber daya alam di luar Jepang.
Keberhasilan ekonomi Jepang juga dapat dilihat karena integrasi yang telah tercapai antara pemerintah, dunia usaha, dan dunia keuangan. Bank, industri, perdagangan, dan pemerintah bersatu serta bekerjasama untuk mengembangkan ekonomi Jepang. Namun semua faktor tersebut tidak akan terwujud apabila jiwa masyarakatnya sendiri yang tergerak untuk bangkit dan maju. Kini Jepang telah membuktikan kepada dunia, setelah kehancurannya pada Perang Dunia II, namun kurang dari 10 tahun, karena etos kerja dan keinginan kuat untuk bangkit, kini menempatkan Jepang menjadi salah satu negara maju, yang bahkan dari segi teknologi dapat menyaingi negara adidaya, seperti Amerika Serikat dan Inggris
3.1. Simpulan
Kebangkitan perekonomian negara Jepang pasca Perang Dunia II tidak terlepas dari faktor- faktor yang mendorongnya. Terdapat dua faktor mendorong hal tersebut yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor internal adalah karakteristik dan kepribadian yang berdasar pada semangat bushido dalam pikiran masyarakat Jepang. Faktor eksternal adalah karena adanya pendudukan Sekutu terutama Amerika Serikat dalam pelaksanaan program demiliterisasi, demokrasi, dan pembaharuan ekonomi, serta munculnya Perang Korea.
Usaha Jepang untuk menjadi negara maju difokuskan pada bidang ekonomi, politik, dan militer. Usaha Jepang dibidang ekonomi dapat dilihat dari adanya semangat untuk membangun industri, pertanian, dan perdagangan yang modern. Hasil yang dicapai Jepang selama masa kebangkitan dapat dilihat dari bidang ekonomi, politik, dan sosial. Hasil dalam bidang ekonomi dapat dilihat dari prosentase kemajuan Jepang, dengan kembalinya para zaibatsu yang menyebabkan kemajuan signifikan pada GNP Jepang, dimana kini Jepang menjadi salah satu negara maju yang sejajar dengan Amerika Serikat dan Inggris, bahkan teknologinya pun kini melebihi dua negara adidaya tersebut. Keberhasilan kemajuan Jepang memang tidak dapat dilepaskan dari mentalitas yang dimiliki bangsa Jepang
3.2. Saran
1. Bagi Generasi Muda
Bagi para penerus generasi bangsa hendaknya meneladani karakter- karakter positif bangsa Jepang untuk bisa membangun negeri menjadi lebih baik, hingga bisa memperoleh keberhasilan pembangunan seperti Jepang sekarang ini.
2. Bagi pemerintah
Bagi pemerintah hendaknya Jepang dijadikan motivasi dan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kebijakan yang diorientasikan pada pembangunan ekonomi sangat menentukan pembangunan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Beasley, W. G. 1963. The Modern History Of Japan. New York: Frederick A. Praeger,
Dasuki, A. 1963. Sedjarah Djepang Jilid 2. Bandung: Balai Pendidikan Guru.
Kunio, Yoshihara. 1987. Shogo Shosha: Pemandu Kemajuan Ekonomi Jepang. PT Gramedia: Jakarta
Prasetiyo, Teguh, Dkk. Kebangkitan Jepang Pasca Pendudukan Amerika Serikat Tahun 1952- 1964. Universitas Jember (UNEJ)
Reischauer, E. O & Craig, A. M. 1990. Tradition And Transformation. Tokyo: Charles E Tuttle Company.
Sakamoto, Taro. 1971. Jepang: Dulu dan Sekarang. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
Soetanto, Himawan, Dkk. 2010. Serangan Jepang ke Hindia Belanda Pada Masa Perang Dunia II 1942: Perebutan Wilayah Nanyo.Prenada Media Grup: Jakarta
Suryohadiprojo, S. 1987. Belajar Dari Jepang (Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan Hidup). Jakarta: UI-Press.
Comments